Oleh : Alfi Dwi Meilena
JurnalPost.com – Toxic Positivity merupakan kondisi dimana seseorang berada pada satu keadaan untuk tetap bersikap positif dengan mengesampingkan emosi-emosi negatifnya. Dalam hal ini kerap kali kita salah dalam menyikapi permasalahan yang sedang terjadi. Bersikap atau mencoba berfikir positif terhadap apa yang terjadi memang tidak ada salahnya, bahkan dapat bermanfaat terhadap orang sekitar. Tetapi jika terus-menerus dilakukan dengan mengabaikan perasaan yang memang sebenarnya harus diungkapkan dapat mengganggu kesehatan mental diri sendiri.
Minimnya pengetahuan mengenai apa itu Toxic Positivity di kalangan masyarakat, menjadi sering disalah artikan. Banyak yang menganggap jika selalu berpikiran positif, menjadi pribadi yang pantang menyerah dan membuang jauh-jauh pikiran negatif ketika masalah ada adalah cara yang tepat. Alih-alih membuat hidup supaya jauh terasa lebih tenang, malah membuat kesehatan mental kita terganggu. Fakta yang muncul dibalik sisi positif berpikir positif ini adalah menjadi toxic atau racun dalam diri.
Toxic Positivity umumnya muncul melalui ucapan. Hal itu terjadi ketika kita mendapatkan ucapan positif dari lawan bicara. Seperti kalimat “ yuk bisa yuk”, kalimat tersebut mungkin terkesan baik bagi para pendengarnya. Namun, kalimat itu bisa membuat keadaan seseorang menjadi tertekan. Jika seseorang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi terus mendorong seseorang agar terus produktif di saat bersedih itu akan mengganggu keadaannya. Cobalah untuk mengganti kalimat itu menjadi kalimat “ keren, kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, ini waktunya kamu beristirahat”.
Kalimat lain seperti “ masa segitu aja udah nyerah” , mungkin terdengar masuk akal sebagai motivasi diri. Kalimat tersebut bisa membuat seseorang kembali semangat dan pantang menyerah. Namun, alih-alih membuat orang pantang menyerah hal itu bisa berdampak buruk bagi perasaan orang. Karena sejatinya, perasaan yang dimiliki seseorang sangat kompleks. Sehingga menyuruh orang untuk membuang perasaan yang dialaminya akan terkesan percuma.
Dan yang terakhir kalimat “buang pikiran negatifmu itu!”. Saat seseorang menceritakan masalahnya, seorang pendengar yang baik tidak boleh ikut campur ke dalam perasaannya. Membiarkan seseorang untuk terus membuang emosi negatif, berdampak buruk bagi mental si pencerita. Bisa saja hal negatif yang di ungkapan pencerita adalah hal yang memang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, beberapa kalimat tersebut mungkin terdengar memberi dorongan yang baik untuk lawan bicara. Namun, hal itu membuat lawan bicara merasa tertekan bahkan mengganggu kesehatan mental.
Selain melalui ucapan, media sosial juga dapat menimbulkan Toxic Positivity. Secara tidak sadar, media sosial mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba memamerkan aspek terbaik dalam hidup masing-masing. Saat kita melihat orang lain dengan kehidupan yang tampak lebih sempurna, kita mungkin lebih rentan mengalami kesedihan dan depresi. Bahkan, meski kita merasa sangat sedih, kita akan sebisa mungkin menyembunyikannya di media sosial. Hal ini menyebabkan kita menyangkal segala emosi negatif karena kita selalu ingin tampil sempurna, seperti yang diperlihatkan dunia di media sosial.
Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa hal itu sudah wajar. Kita tidak menyadari bahwa dorongan positif tersebut membuat kita semakin menghindari perasaan negatif. Penyangkalan emosi negatif dalam jangka panjang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mental. Seperti stres, sedih berkepanjangan, cemas yang berlebih, depresi, PTSD, dan gangguan tidur.
Daripada dipaksa untuk terus bersikap positif, ada baiknya kita melihat setiap permasalahan dengan sisi realistis, itulah yang disebut dengan konsep realistis positivity. Berpikir realistis akan membuat kesehatan mental kita menjadi lebih baik. Membangun sikap positif yang realistis dimulai dengan pemahaman bahwa hidup tidak selalu bahagia dan masalah apa pun yang menimbulkan emosi negatif adalah hal yang wajar dan tidak perlu dibuang begitu saja.
Dalam hal ini, kita jauh lebih bisa mengekspresikan emosi kita sendiri dan ini adalah langkah awal untuk berdamai dengan emosi negatif tersebut. Daripada terburu-buru memikirkan hal-hal negatif dengan mendorong mereka untuk tetap antusias. Mengekspresikan emosi tersebut sampai emosi tersebut mereda adalah kunci untuk mencegah agar mereka merasa lebih lega, dengan permasalahan yang ada. Terus selalu perlihatkan sisi realistis agar mereka mau untuk mengeluarkan emosi negatifnya.
Mencoba menerima emosi negatif sebenarnya adalah cara yang tepat untuk mengatasi permasalahan mental. Tidak selamanya emosi negatif dalam diri akan berdampak buruk. Bisa saja emosi negatif memberikan pengakuan bahwa setiap manusia tidak selamanya berada di level baik atau sempurna. Ada kalanya kita berada dititik rendah, sedih, dan gagal. Karena setiap manusia sudah seharusnya menyeimbangkan ketenangan perasaan dan pikirannya.
Kita tidak bisa selamanya menjadi pribadi yang selalu positif dimata orang lain. Setiap manusia mempunyai batas puncaknya masing-masing. Meluapkan emosi marah, sedih, kecewa dan menyerah adalah hal yang sudah sewajarnya. Apa pun yang berlebihan itu tidak baik, termasuk pikiran dan sikap positif. Tidak apa jika kita terlihat tidak baik-baik saja, tidak perlu menyangkal kesedihan dan berpura-pura bahagia.
Quoted From Many Source