Oleh Muhammad Thaufan Arifuddin (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Andalas)
JurnalPost.com – Post-Marxisme yang digaungkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (2001) adalah sebuah pendekatan yang meninggalkan kerangka pemikiran Marxisme tradisional untuk mencoba menggabungkannya dengan perkembangan teoritis terkini, termasuk feminisme, posmodernisme, post-strukturalisme, dan psikoanalisis Lacanian.
Laclau dan Mouffe (2001) membayangkan kolaborasi antara Marxisme dengan berbagai gerakan sosial baru seperti feminisme baru, pergerakan minoritas etnis, nasionalisme, seksualitas, perjuangan ekologi, gerakan masyarakat yang terpinggirkan, gerakan anti-nuklir, dan bentuk-bentuk perjuangan sosial lainnya.
Menurut John Storey (2009), studi budaya dalam pandangan post-Marxisme adalah sebuah konsep positif yang dianjurkan oleh Laclau dan Mouffe. Mereka menempatkan konsep wacana sebagai titik sentral dalam perkembangan post-Marxisme. Laclau (1993) menjelaskan bahwa hipotesis dasar dari pendekatan wacana adalah bahwa persepsi, pemikiran, dan tindakan seseorang sangat bergantung pada struktur makna yang telah ada sebelumnya.
Untuk memahami arti wacana, Laclau dan Mouffe (2009) memberikan contoh tentang dua orang yang sedang membangun dinding. Orang pertama meminta orang kedua untuk memberikan batu bata. Setelah menerima batu bata tersebut, orang kedua menambahkannya ke dinding. Seluruh proses ini terdiri dari momen-momen linguistik, seperti permintaan batu bata, dan momen non-linguistik, seperti menambahkan batu bata ke dinding.
Menurut Laclau dan Mouffe (2001), wacana terdiri dari totalitas yang bersifat linguistik dan non-linguistik. Dengan kata lain, mereka menggunakan istilah wacana untuk menekankan bahwa setiap konfigurasi sosial memiliki makna. Sebagai contoh, ketika seseorang menendang sebuah objek bulat di jalan, dan ketika dia menendang bola dalam pertandingan sepak bola, objek fisiknya sama, tetapi maknanya berbeda. Objek tersebut, dalam konteks sepak bola, menjadi bola sepak hanya karena makna tersebut telah diberikan oleh konstruksi sosial dan budaya. Ini menunjukkan bahwa wacana adalah cara di mana makna diciptakan dan disusun dalam tindakan sosial.
Dalam pandangan Laclau dan Mouffe (2001), objek eksis di dunia nyata, tetapi makna yang melekat pada objek tersebut adalah hasil dari wacana. Sebagai contoh, gempa bumi adalah peristiwa fisik yang terjadi di dunia nyata, tetapi apakah peristiwa tersebut dijelaskan sebagai fenomena alam atau sebagai tanda kemarahan Tuhan adalah tergantung pada struktur wacana yang mendominasi. Hal ini bukan berarti bahwa objek-objek tersebut sepenuhnya bergantung pada wacana, tetapi lebih pada bagaimana wacana memberikan makna pada objek-objek tersebut dalam konteks sosial.
Pentingnya makna yang dihasilkan dalam wacana adalah bahwa makna tersebut membentuk dan mengorganisir tindakan individu dan kelompok. Hanya melalui wacana, hubungan subordinasi dapat menjadi hubungan penindasan, dan inilah yang membentuk dasar perjuangan. Seseorang mungkin secara objektif tertindas, tetapi jika tidak diartikulasikan dalam wacana maka subordinasi ini tidak akan menjadi objek perjuangan dan tidak akan terbuka untuk perubahan. Konsep perjuangan wacana hegemonik menurut Laclau (1993), bekerja dengan cara memperdalam dan memenangkan antagonisme melalui wacana politik.
Sebuah kelas atau kelompok sosial menjadi hegemonik bukan hanya karena mereka mampu memaksakan satu konsep dunia pada yang lain, tetapi karena mereka berhasil mengartikulasikan visi dunia mereka dalam wacana yang diterima oleh siapa pun. Ini mencerminkan bahwa konsep wacana adalah kunci dalam studi budaya Post-Post-Marxisme.
Praktik artikulasi, yang dijelaskan oleh Laclau dan Mouffe (2001), melibatkan penguatan makna dalam bidang sosial. Hall (1996) mengembangkan konsep ini untuk menjelaskan bagaimana budaya berfungsi sebagai medan perjuangan ideologis. Ia berpendapat bahwa teks dan praktik tidak memiliki makna yang tetap. Makna selalu dihasilkan melalui tindakan artikulasi. Makna adalah hasil produksi sosial dan sebuah praktik. Dunia harus dibuat berarti, dan ini hanya terjadi dalam konteks wacana.
Makna yang dihasilkan dalam wacana membentuk dan mengatur tindakan. Hanya dalam wacana, hubungan subordinasi dapat menjadi hubungan penindasan, dan oleh karena itu membentuk dasar perjuangan. Makna bukanlah sesuatu yang inheren atau tetap pada objek atau tindakan, tetapi sesuatu yang dihasilkan dan disusun oleh masyarakat melalui interaksi sosial dan budaya mereka. Dengan demikian, konsep wacana mengacu pada ide bahwa objek atau peristiwa di dunia nyata memiliki makna yang bervariasi tergantung pada konstruksi sosial dan budaya mereka.
Dalam studi budaya post-Marxisme, budaya tidak hanya terbatas pada barang atau benda konkret seperti buku atau lukisan, melainkan merupakan proses yang melibatkan produksi, sirkulasi, dan konsumsi makna. Sebagai contoh, tindakan sederhana seperti memberikan kartu bisnis kepada seseorang di China dengan dua tangan adalah produk budaya yang melibatkan makna tertentu yang telah dikonstruksi dalam masyarakat.
Studi budaya post-Marxisme menekankan pentingnya wacana, artikulasi, dan makna dalam pembentukan realitas sosial. Mereka mengakui bahwa dunia fisik ada di luar wacana, tetapi menekankan bahwa makna dan interpretasi yang diberikan oleh wacana membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia tersebut. Makna adalah produk wacana sosial yang terus berubah dan dapat menjadi sumber perjuangan dan negosiasi dalam masyarakat.
Alhasil, post-Marxisme telah menunjukkan bahwa hidup dan realitas kebudayaan adalah pertarungan wacana untuk memenangkan hegemoni politik dan budaya. Pertarungan wacana ini akan selalu beroperasi tanpa henti selama dunia dan kebudayaan bergerak. Namun, hanya satu yang pasti bahwa pemenang wacana hegemonik di pentas sejarah selalu lahir dari artikulasi wacana politik dan kebudayaan yang lebih populis-populer.
Quoted From Many Source