Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
JurnalPost.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan pejabat tinggi tetap menjabat meski mereka mencalonkan diri dalam pemilu menandai kemunduran bagi demokrasi di Tanah Air. Putusan tersebut, yang tentu saja menguntungkan pemerintah, mendapat dukungan bulat dari majelis hakim yang dipimpin oleh seorang hakim agung yang juga merupakan saudara ipar Presiden Jokowi. Putusan ini berdampak buruk terhadap kampanye tata pemerintahan yang baik yang selama ini banyak digembar-gemborkan.
Berkat putusan MK ini, para menteri Kabinet dan pejabat tinggi lainnya di pemerintahan tidak perlu mengundurkan diri jika mereka ingin mencalonkan diri pada pemilu tahun 2024 dan seterusnya. Mereka hanya memerlukan izin Presiden untuk mengambil cuti selama mengikuti kegiatan terkait pemilu.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa dia akan mematuhi keputusan MK. Bahkan sebelum MK mengeluarkan putusannya, Jokowi telah menegaskan bahwa para pejabat tinggi tidak perlu mengundurkan diri seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Pemilu 2017. Secara khusus, Pasal 170 undang-undang tersebut mengatur bahwa pejabat publik yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai untuk pemilihan presiden dan wakil presiden harus berhenti dari jabatannya.
Sejumlah menteri di Kabinet Jokowi disebut-sebut menjadi calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024. Mereka antara lain Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Walaupun akhirnya Mahfid MD yang justru terpilih.
Pengunduran diri wajib bagi pejabat pemerintah, militer dan polisi yang ingin mengejar karir politik melalui pemilu. Ini untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan persaingan yang bersih dan adil. Bahkan ketika mekanisme tersebut ada, penyalahgunaan kekuasaan dilaporkan terjadi di sana-sini. Kita bisa membayangkan betapa maraknya penyelewengan wewenang, aset, dan fasilitas negara jika kewajiban pengunduran diri sudah tidak lagi menjadi hal yang lumrah.
Sebelum Era Reformasi tahun 1998, para menteri Kabinet diperbolehkan mencalonkan diri dalam pemilu tanpa harus mengundurkan diri hanya karena mereka akan bertindak sebagai pengambil suara. Partai yang berkuasa saat itu, Golkar, memerlukan suara mayoritas untuk melegitimasi cengkeraman rezim Orde Baru di lanskap politik negara.
Ketika pemerintah menghadapi tantangan yang semakin besar akibat resesi global yang dinilai segera terjadi, para menteri di Kabinet yang ingin menduduki jabatan publik pada tahun 2024 tidak dapat berkontribusi maksimal menyelesaikan tugas-tugas pemerintah. Mereka mungkin juga mempertaruhkan banyak program Jokowi, sementara Jokowi ingin meninggalkan warisan jangka panjang setelah dia menyelesaikan masa jabatannya.
Presiden Jokowi berjanji akan mengkaji ulang kinerja para pembantunya yang fokusnya terbagi antara tugas negara dan ambisi politik. Alih-alih menunggu kemungkinan tersebut terjadi, lebih baik Jokowi menghilangkan risiko tersebut dengan memecat menteri-menterinya yang ingin ikut serta dalam pemilu 2024 atau meminta mereka mundur. Bagaimanapun, Konstitusi memberinya hak prerogatif untuk mengangkat dan memecat menteri-menterinya. Semoga saja Jokowi masih punya nurani melaksanakan kebijaksanaannya.
Quoted From Many Source