oleh Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas
JurnalPost.com – Pada tahun 1950-an, dominasi karya sastra Indonesia dituangkan dalam bentuk genre puisi dan prosa. Hal ini pun berdampak pada kepenulisan yang dilakukan oleh para penulis. Pada masa ini, kepenulisan sastra populer sangat bervariasi, adanya percintaan, Kebudayaan populer seringkali didukung oleh industri budaya, seperti penerbitan, perfilman, musik, dan lainnya. Sastra populer juga menjadi bagian dari kebudayaan populer yang dikelola sebagai produk industri. Ini mencerminkan perubahan dalam cara masyarakat mengonsumsi budaya.
Tema-tema yang umumnya diangkat dalam buku saku sastra populer mencakup romansa, misteri, fantasi, sains fiksi, kisah remaja, petualangan, sejarah, dan kisah tentang keluarga dan persahabatan. Buku-buku saku romansa sering mengisahkan kisah cinta dengan elemen dramatis dan konflik yang harus diatasi. Sementara itu, buku-buku misteri dan kejahatan mengundang pembaca untuk memecahkan teka-teki kriminal. Buku-buku fantasi membawa pembaca ke dunia magis yang penuh petualangan.
Dalam sains fiksi, pembaca dihadapkan pada dunia masa depan dengan teknologi canggih dan pertanyaan etika. Kisah remaja berfokus pada pengalaman generasi muda, persahabatan, dan cinta. Buku petualangan menghadirkan cerita seru yang memacu adrenalin. Kisah sejarah membawa pembaca ke masa lalu dengan latar belakang peristiwa bersejarah. Buku-buku yang mengangkat drama keluarga dan persahabatan menggambarkan hubungan personal dan perjalanan pertumbuhan karakter. Melalui penggabungan tema-tema ini, buku saku dalam sastra populer menghasilkan beragam bacaan yang menarik bagi berbagai selera pembaca dan memiliki peran penting dalam memberikan hiburan dan kesenangan.
Salah satu tema yang dominan muncul adalah tema romansa atau percintaan. Selain itu, kisahan terkait dengan kehidupan janda yang didiskriminasikan karena berbagai stereotip janda yang ada di masyarakat. Hal ini tercermin dalam karya-karya Motinggo Busye. Sebenarnya, ada pengarang lain yang muncul pada masa ini seperti Darmo Ario yang memiliki karyanya sendiri. Namun, Motinggo hadir dengan berbagai buku sakunya yang mendapat perhatian dari banyak orang.
Namun, selain dari penulis-penulis utama ini, muncul pula para penulis pengikut, yang mencoba meniru gaya dan tema yang digunakan oleh Motinggo Busye. Meningkatnya popularitas Motinggo Busye berdampak pada munculnya penulis-penulis “mendadak” seperti Min Jotanya, Benny L, Fonny S, Hino Minggo, yang mencoba mengikuti jejaknya dalam menulis sastra populer. Namun, kualitas karya-karya para penulis pengikut ini dianggap jauh lebih rendah dibandingkan dengan karya-karya asli Motinggo Busye, termasuk dalam hal perwajahan sampul novel, isi cerita, dan cara berceritanya (Sumardjo, 199, hlm. 153-159).
Tahun 1968 merupakan tahun penting dalam perjalanan Motinggo Busye sebagai penulis sastra populer di Indonesia. Pada tahun tersebut, Motinggo Busye memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta. Namun, ceramah ini memicu reaksi negatif dari sejumlah kalangan, termasuk para sastrawan. Mereka menggugat dan mengkritik keras karya-karya Motinggo, serta cara penyajian sastra populer yang diwakilinya. Reaksi kritik ini mencerminkan ketidaksetujuan terhadap jenis sastra yang dihasilkan oleh Motinggo Busye.
Salah satu sumber perdebatan adalah penilaian terhadap karya-karya Motinggo Busye sebagai buku hiburan seksual.
Karyanya sering dianggap sebagai buku yang berfokus pada aspek-aspek seksualitas, meskipun buku-buku tersebut mencampurkan berbagai elemen seperti kenakalan remaja, perpecahan keluarga kelas atas, dan berbagai bentuk penyimpangan seksual. Namun, perlu dicatat bahwa ada pandangan berbeda mengenai karya-karya Motinggo. Jacob Sumardjo, dalam karyanya, mengutarakan pandangan bahwa karya-karya Motinggo sebenarnya lebih kompleks daripada sekadar hiburan seksual semata. Menurut Sumardjo, karya-karya tersebut memiliki alur cerita yang berbeda di setiap buku dan mencerminkan realitas sosial yang beragam.
Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara sastra populer dan sastra yang dianggap lebih serius oleh kalangan sastrawan. Sastra populer seperti yang diwakili oleh Motinggo Busye sering kali mengusung tema-tema yang dianggap kontroversial atau provokatif oleh sebagian kalangan. Ini memicu perdebatan mengenai peran sastra dalam masyarakat, tanggung jawab seorang penulis dalam menciptakan karya, dan batasan-batasan moral dalam sastra populer.
Meskipun kontroversial, Motinggo Busye tetap menjadi salah satu figur yang berpengaruh dalam sejarah sastra populer Indonesia. Karyanya mencerminkan kompleksitas hubungan antara sastra, hiburan, dan nilai-nilai sosial pada masanya, dan perdebatan mengenai karya-karya Motinggo masih terus berlanjut hingga saat ini. Motinggo Busye muncul sebagai salah satu tokoh sentral dalam sastra populer pada masa itu, dan karyanya menjadi inspirasi bagi banyak penulis lain yang mencoba mengejar popularitas dan kesuksesan serupa. Meskipun karyanya dianggap kontroversial oleh beberapa kalangan, ia tetap menjadi sosok berpengaruh dalam dunia sastra populer Indonesia pada masanya.
Motinggo Busye menjalani kehidupan yang produktif dan beragam dalam dunia seni dan sastra. Selama hidupnya, ia menulis lebih dari 200 karya yang mencakup berbagai genre, dan karya-karyanya masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, D.C., mencerminkan pengaruhnya dalam literatur. Beberapa karya sastra populer yang dihasilkan oleh Motinggo Busye antara lain “Perempuan itu Bernama Barabah” (1963), “Cross Mama” (1966), “Tante Maryati” (1967), “Sri Ayati” (1968), “Madu Prahara” (1985), “Fatimah Chen Chen” (1999), “Nyonya dan Nyonya” (1963), “Malam Pengantin di Bukit Kera” (1963), dan banyak lagi. Karya-karyanya mencakup berbagai tema dan genre, yang mencerminkan keberagaman minat dan bakatnya dalam menciptakan karya-karya seni.
Selain menjadi penulis, Motinggo Busye juga mencapai pengakuan internasional dalam dunia sastra. Namanya diukir di Taman Kota Seoul, Korea Selatan, di antara 1.000 penyair dunia, menunjukkan dampak global karyanya. Ia juga memiliki peran sebagai redaktur kepala Penerbitan Nusantara pada periode 1961–1964, yang menandakan keterlibatannya dalam dunia penerbitan sastra. Selain itu, ia menjabat sebagai Ketua II Koperasi Seniman Indonesia, yang membuktikan kontribusinya dalam pengembangan komunitas seniman di Indonesia.
Motinggo Busye tidak hanya menekuni sastra; ia juga memiliki minat dalam seni lukis. Pada tahun 1954, ia menggelar pameran lukisan di Padang, Sumatera Barat, yang menampilkan 15 karya seni buatannya. Hal ini menunjukkan bahwa bakatnya dalam seni melukis turut menghiasi kehidupannya sebagai seniman serbabisa.
Quoted From Many Source