Dipaksa Menjadi Dewasa Oleh Keadaan

Berita22 Dilihat
Ilustrasi anak sedang bermain bersama Sumber : freepik.id

Oleh: Azizah Quratul Aini, Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret.

JurnalPost.com – Bukan hal tabu lagi peristiwa anak dibawah umur yang sudah memiliki sifat dewasa sebelum waktunya, apalagi di negara Indonesia ini yang sekarang justru menormalisasikan anak usia bawah umur untuk bertingkah selayaknya orang dewasa. Hal ini banyak dijumpai pada wilayah ibu kota, bahkan secara langsung kerap saya temui di lingkungan saya. Pada dasarnya seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun maka masih dibawah kekuasaan orang tuanya. Namun sebaliknya, beberapa orang tua menyalahi hal tersebut. Dalam hal ini yang saya garis bawahi terkait dengan seorang anak dibawah umur yang tidak mendapatkan haknya dengan baik.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan hak yang diperoleh seorang anak? Seorang anak sewajarnya mendapatkan hak untuk menikmati hidupnya dengan memanfaatkan waktunya untuk belajar dan mendapatkan hak dari orangtuanya untuk memfasilitasi keberlangsungan seorang anak dalam proses menunjang ilmu. Namun Sebagian besar anak dibawah umur malah tidak mendapatkan hak ini. Mereka justru diminta oleh orangtuanya untuk bekerja, atau bahkan ada dipaksa ikut bekerja oleh orangtuanya. Padahal belum waktunya untuk si anak terjun dalam dunia kerja. Beberapa waktu lalu saya menjumpai hal seperti ini, dimana anak usia dibawah umur ikut bekerja dengan orangtuanya. Saat itu saya sedang membeli rice bowl dan makan bersama teman saya, tak jauh dari tempat saya makan, saya jumpai seorang bapak berjualan bakso bakar dan semacamnya dengan mengajak anaknya yang kira-kira berusia 7 tahun. Anak itu saya lihat sedang bermain dengan bapaknya. Dengan menggunakan kaos oblong dan tanpa alas kaki, ia berlari kesana kemari dengan memainkan gagang payung tenda yang tidak terpasang pada dagangan si bapak.

Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran si anak berusia 7 tahun itu, apakah dia senang menemani bapaknya berjualan, atau dia merasa tidak seharusnya dirinya merasakan hal seperti itu (tidak seperti anak-anak lainnya yang hanya bermain dan belajar). Hal itu membuat saya tidak fokus melahap rice bowl dihadapan saya, karena sesekali mata saya melirik kearah anak itu. Kami sempat saling eye contact, dan saya hanya memberikan senyuman kecil untuknya. Sepulangnya saya dari taman tersebut, saya menyadari dan sangat bersyukur kepada Tuhan, karena apa yang Tuhan berikan kepada saya melebihi cukup, masa kecil saya diberikan kenikmatan, dan difasilitasi oleh kedua orang tua saya. Dilain sisi, saya juga mengerti mengapa si bapak tadi mengajak anaknya untuk ikut menemaninya bekerja. Jika berpikir secara rasional, hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor.

Baca Juga  KPK Limpahkan Dakwaan Eks Anggota DPRD Jambi Terkait Kasus Suap Ketok Palu

Yang pertama dari segi finansial, saya tahu bahwa setiap keluarga pasti memiliki finansial yang berbeda-beda, ada yang sangat mencukupi bahkan lebih, ada juga yang kekurangan. Dari faktor ini bisa jadi orang tua mendorong anaknya untuk bekerja atau hanya sekedar menemaninya dalam bekerja agar si anak mengetahui susahnya dalam mencari uang sehingga menghasilkan output anak dapat merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh orang tuanya. Kemudian yang kedua kurangnya pendidikan dan wawasan dari orang tua. Jika kembali ke masa lalu, banyak stigma dari orang tua yang hanya memiliki pengetahuan tentang pendidikan atau bahkan tanpa melalui pendidikan formal mungkin tidak terlalu mementingkan pendidikan bagi anaknya, mereka memilih anaknya untuk bekerja daripada bersekolah, para orangtua berfokus untuk anaknya lebih cepat mendapatkan uang melalui pekerjaan dan tidak memandang berapa usianya demi membantu keuangan dalam keluarga. Tetapi hal tersebut salah besar, pendidikan juga merupakan aspek yang penting untuk menunjang masa depan seorang anak. Jika anak tidak dibekali ilmu sejak dini, bagaimana anak akan tumbuh dan berproses menjadi generasi emas bangsa ini.

Saya paham betul mungkin banyak orangtua yang mengeluh akan biaya ‘mahal’ untuk pendidikan ini, tetapi untuk era saat ini menurut saya alasan itu tidak dapat digunakan kembali bagi orangtua untuk tidak menyekolahkan anaknya melainkan mengarahkan anaknya untuk bekerja. Saat ini program bantuan biaya untuk pendidikan dari pemerintah sangat beragam, contohnya seperti PIP (Program Indonesia Pintar), KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan beasiswa yang disediakan oleh instansi pemerintah.

Dalam menyikapi hal ini pemerintah juga sudah mengupayakan untuk seorang anak khususnya yang berasal dari keluarga yang kurang mampu untuk bisa mendapatkan hak menunjang ilmu pendidikan. Sebagai orangtua seharusnya dapat menempatkan diri dengan bijak. Jika memang finansial tidak mampu untuk menanggung biaya pendidikan si anak, orangtua dapat memanfaatkan program-program yang sudah disediakan oleh pemerintah. Kembali lagi pada si anak dan bapak penjual bakso bakar yang saya temui. Saya rasa si bapak sadar bahwa itu bukan tempat yang seharusnya bagi si anak untuk ikut menemaninya berjualan, namun saya tidak tahu keadaan apa yang sedang mereka hadapi sehingga situasi tersebut mengharuskan si anak untuk terjun ikut bersama si bapak. Saya hanya bisa mendoakan untuk si anak dan bapak agar mendapat rezeki yang lancar sehingga si anak bisa mendapatkan apa yang semestinya dia dapatkan.

Baca Juga  Tencent Bukukan Kenaikan Pendapatan Lebih Kecil dari Prediksi

Meskipun beberapa orang beranggapan bahwa mengajak anaknya ikut bekerja yang mereka tujukan untuk membentuk sikap mental seorang anak agar lebih mengerti dunia luar itu seperti apa, susahnya mencari uang itu seperti apa, terkadang perlu diingat bahwa hal ini dapat merugikan anak-anak apalagi dibawah umur dalam jangka panjang. Pekerjaan untuk anak dibawah umur dapat mengganggu pendidikan mereka, kesehatan fisik dan mental, serta perkembangan sosial.

Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *